Dalam Diam

Suatu ketika di kala itu

kita bagai ufuk dan surya yang hadir memadu rasa. 

Berbaur wujudkan senja

Tampilkan pesona tanpa sedikit pun rencana.

Sekejap dengan beragam kesan penuh pikat. 

Melesap cepat meski esok kembali jumpai keindahan yang lekat.

Ya, begitu.

Hanya mampu sampai begitu saja.

Hanya bisa sisakan setumpuk wajah rindu yang mendera.

Sampai masa menuntun kita entah ke mana. 

Berpisah begitu saja

Serupa mendung yang datang hilangkan senja. Sedari itu, esok, dan seterusnya. 

Mentari ingkar janji pada ufuk untuk setia. 

Ia memilih berpeluk di punggung awan. Sementara awan membuat ufuk basah oleh hujan berkepanjangan.

Memilukan

Hingga resap ke Kota Jiwa

Tanpa pernah diminta.

Meski setelahnya, di Kota Jiwa, hujan reda ganti cuaca. 

Menjadi gersang dan tandus, mengeja retak pada tanah. 

Tak mau bertumbuh bunga. 

Sekali saja, ia tak terima. 

Walau ada tawaran tulus dari beberapa, yang ingin menata halamannya, membangun rumah untuk menetap saja.

Tak pernah.

Tak pernah bisa.

Sebab, yang terasa hanya sisa hampa sebagai bagian dari cerita. 

Sementara, adalah kamu, masih jadi gambaran atas matinya rasa, yang tanpa aba memilih tiada seutuhnya. Entah sampai kapan. 

Sedangkan aku, ialah penonton yang selalu menyaksikan rekam ulang setiap kenangan. Sendirian.

Dalam diam.

Dalam suram.

Dan 'suatu ketika' itu

Tak lebih dari sekadar perenggut nyawa akan rasa yang telah mengubah jati diri menjadi aroma bangkai: karena sebuah keadaan yang memaksa, akibat trauma dari menjalin cinta. πŸ‚πŸ‚πŸ‚☕

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Γ€ku, Kopi dan Rokok, serta Senyumanmu